Kayuagung – Baranewssumsel.online.com, Masa 100 hari pertama menjabat biasanya menjadi momentum bagi kepala daerah untuk menunjukkan gebrakan awal dalam mewujudkan janji kampanye. Namun, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), kesan itu belum sepenuhnya terasa. Sejumlah warga dan organisasi mulai mempertanyakan kiprah nyata duet Bupati Muchendi Mahzareki dan Wakil Bupati Supriyanto atau yang dikenal dengan jargon MURI.
Neti, warga Kelurahan Kedaton, menyuarakan keresahannya terhadap kondisi infrastruktur yang tak kunjung membaik. Ia menyoroti kerusakan jalan di kawasan Sepucuk—tepat di bawah tol—yang sejak lama dikeluhkan, namun belum ada tanda-tanda perbaikan.
“Sejak dilantik, belum terasa perubahan yang menyentuh langsung ke masyarakat. Kondisi jalan masih seperti dulu, rusak dan seolah luput dari perhatian,” kata Neti kepada media, Kamis (8/5/2025).
Meski begitu, ia mencoba memaklumi karena kepemimpinan MURI masih terbilang baru. “Mungkin karena baru menjabat, ya. Mudah-mudahan ke depan ada perbaikan,” ucapnya dengan nada penuh harap.
For-WIN OKI Desak Aksi Nyata, Bukan Sekadar Janji
Kritik lebih tegas disampaikan Forum Wartawan Independen Nusantara (For-WIN) Kabupaten OKI. Ketua DPC For-WIN OKI, Agung, menyebut bahwa 100 hari kerja adalah masa krusial yang semestinya diisi dengan langkah cepat menyelesaikan persoalan-persoalan mendesak, bukan sekadar rutinitas seremonial.
“Bukan cuma jalan rusak. Lihat saja Taman Segitiga Mas di jantung kota Kayuagung, kondisinya tak terawat. Di sisi lain, enceng gondok kembali menguasai permukaan Sungai Komering. Ini bukan citra kota yang semestinya,” kata Agung.
Menurutnya, pemerintah daerah harus lebih tanggap terhadap persoalan yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Ia menegaskan, harapan rakyat terhadap kepemimpinan MURI cukup besar dan jangan sampai pupus hanya karena lambannya respons awal.
“Ayoo! Tancap Gas, Jangan Meredup!”
Agung mengajak Bupati dan Wakil Bupati untuk mempercepat kerja nyata, bukan menunggu waktu berjalan tanpa arah yang jelas.
“100 hari sudah lewat, jangan biarkan kritik ini jadi cermin kekecewaan. Ayo tancap gas, selesaikan keluhan-keluhan yang sudah menumpuk sejak lama. Harapan rakyat itu amanah, bukan sekadar slogan,” tandas Agung.
Berikut lanjutan artikelnya dengan memasukkan pernyataan dari pemerhati sosial dan hukum, Syarf Al Dhin, dengan gaya yang tetap sesuai pakem jurnalistik:
Sementara itu, dari Jakarta, pemerhati sosial dan hukum Syarf Al Dhin turut menanggapi dinamika awal pemerintahan Muchendi–Supriyanto di OKI. Ia menilai bahwa 100 hari pertama adalah waktu emas untuk menunjukkan arah dan keseriusan dalam menjalankan amanat konstitusi serta mandat rakyat.
“Dalam perspektif hukum tata negara dan pelayanan publik, kepala daerah memiliki kewajiban hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di sana tertulis bahwa urusan wajib pelayanan dasar mencakup infrastruktur, lingkungan hidup, dan penataan ruang,” jelas Syarf saat dihubungi, Kamis (8/5).
Ia menekankan, ketika jalan-jalan utama dibiarkan rusak, taman kota terbengkalai, dan sungai dipenuhi enceng gondok tanpa intervensi serius dari pemerintah, maka itu bisa dianggap kelalaian terhadap kewajiban pelayanan dasar.
“Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, tidak boleh menunggu viral atau desakan publik baru bertindak. Itu melanggar semangat pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009. Pemerintah yang responsif itu bekerja sebelum rakyat teriak,” tegasnya.
Lebih jauh, Syarf menyebut bahwa citra kepemimpinan daerah tidak hanya dinilai dari pidato atau simbol, tetapi dari langkah konkret yang bisa dirasakan rakyat, terutama di bidang pelayanan dasar dan keadilan sosial.
“100 hari pertama bukan soal hasil besar, tapi indikator awal: apakah mereka peka, apakah mereka gerak cepat, atau justru ‘jalan di tempat’. Jika indikator ini tidak terpenuhi, maka rakyat berhak kecewa,” pungkasnya. (TIM/Dens)